Kamis, 18 Juni 2009

Catatan Tentang Seorang Loper Koran

Oleh: Siti Herlina Cahyani, Bq. Harniati

Berkeliling setiap pagi dan sore hari dengan sepeda ontel tuanya yang kini mulai karatan adalah sedikit gambaran singkat dari laki-laki yang akrab dipanggil Pak Ban (43). Berkeliling bukan karena berlomba atau jalan-jalan. Ia berkeliling setiap hari karena harus mengantarkan koran kepada setiap langganannya.

Sebagai seorang loper koran, lelaki bernama lengkap Muhammad Syakban ini biasanya berkeliling mengantarkan koran ke pelangganannya pada pagi dan sore hari, sesuai dengan keinginan pelanggannya. Karena bagi laki-laki yang biasa mengantar koran ke FKIP sekitar pukul 16.00 atau pada pukul 16.30 sore ini mengaku bahwa keinginan pelanggan adalah tugas yang harus ia laksanakan.

Untuk koran pagi ia biasanya mengan-tarkan kepada pelanggannya dari pukul 06. 30 pagi. Sedangkan untuk pesanan koran sore ia biasanya mulai bekerja ba’da Asar.
Pria yang beralamat di Karang Kemong ini, biasa mengambil koran pada agen yang ada di Gomong. Koran yang biasa ia jual adalah terbitan Kompas dan Republika. Pak Ban mengantar koran kepada pelanggannya dimulai dari daerah di Jalan Muhajirin, Dasan Agung sampai perumahan di Jalan Swadaya, Kekalik.

Pria lajang yang sudah berjualan koran semenjak masih duduk di sekolah menengah pertama ini mengaku tidak sengaja terjun menjadi loper koran. “Dulu sih nggak sengaja gantiin teman berjualan, eh malah ketagihan sampai sekarang,” ceritanya. Sejak bergelut menjadi loper koran inilah anak tertua dari tujuh bersaudara ini merasakan ada kepuasan tersendiri baginya bekerja sebagai tukang koran. Ia mempunyai uang sendiri dan mengerti bagaimana susahnya mencari uang. Uang yang ia peroleh dari hasil jual koran memang tak seberapa. Ia hanya mendapat uang sekitar Rp 90.000 per bulan setelah dibagi dengan agen tempat ia mengambil koran. Namun uang yang ia peroleh dari hasil koran tersebut mampu membiayai hidupnya sendiri.

Tak hanya untuk biaya hidupnya, uang hasil kerjanya juga digu-nakan untuk membantu perekonomian keluar-ganya. Sebab keluarga Pak Ban tergolong ke-luarga besar. Semenjak ayahnya meninggal ia harus memberi contoh yang baik kepada ke enam orang adiknya. Terlebih ibunya hanya seorang ibu rumah tang-ga biasa. Ia harus bekerja keras untuk membantu menopang kebutuhan pere-konomian keluarga sebagai pengganti ayah bagi keenam saudaranya. Tak hanya mem-bantu ekonomi keluarganya, ia juga harus merelakan pendidikannya hanya sampai SMP saja. Inilah pengorbanan paling berat yang ia lakukan.

Walaupun gaji yang Pak Ban dapatkan tak seberapa, ia tetap bersyukur atas apa yang ia dapatkan. “Dari pada menjadi tukang minta-minta, lebih baik menjalani pekerjaan yang ada,” tambahnya.

Meskipun tanggungannya sudah mulai berkurang, karena adik-adiknya sudah ada yang menikah dan sudah bekerja. Ia tak dapat melepaskan tanggung jawabnya sebagai pengganti sosok ayah dalam keluarganya. Ia masih mengurus ibu dan dua adiknya yang tersisa. Mungkin karena alasan inilah pria yang murah senyum ini masih betah melajang sampai sekarang. Meskipun tak jarang ia pun kadang malu karena sampai sekarang belum beristri. “Sebenarnya malu juga sih karena masih sendiri. Apalagi teman-teman saya yang dulu sudah banyak yang punya anak bahkan telah memiliki cucu. Apalagi saya sering juga dibuat jadi bahan olok-olokan,” ungkapnya sambil tertawa lepas.

Pak Ban juga masih tetap bersemangat menjalani pekerjaan yang sudah hampir 30
tahun digelutinya ini. Meskipun banyak orang yang mengganggap remeh peker-jaannya itu . Pak Ban juga mengakui, meskipun ia telah lama menjual koran, tapi ia jarang membaca koran yang ia jual. Sebab, selain ia tidak terlalu suka membaca koran. Menurutnya, isi berita dalam koran-koran tersebut terlalu berat untuknya.
Fantastis memang. Pak Ban sosok pria bertanggung jawab ini bertahan menjadi loper koran hampir serperdelapan usianya. Ketika ditanya apa resep yang menyebab-kan ia betah menjalani pekerjaan sebagai loper koran, Pak Ban hanya menjawab singkat, “Intinya adalah kita harus ikhlas dalam menjalankan sesuatu. Serta apa yang kita lakukan tersebut bisa bermanfaat bagi orang lain,” jawabnya sambil mengakhiri pembicaraan.

Suatu pembelajaran bagi kita semua. Ikhlas adalah kunci dalam melakukan sesuatu sehingga apa yang kita lakukan akan terasa lebih mudah. Lihatlah Pak Ban, sosok yang selalu ikhlas dan bertanggung jawab atas pekerjaan dan keluarganya mampu memberikan manfaat yang tidak hanya untuk diri dan keluarganya saja, tetapi juga memberikan manfaat untuk orang lain. Jadi pekerjaan apapun itu harus kita geluti dengan ikhlas, tanpa malu dan tetap semangat.

Diterbitkan dalam Newsletter Pena Kampus tahun 2008

Rabu, 17 Juni 2009

Sekilas Tentang Pena Kampus


Mengingat saat itu kegiatan LPM di tingkat Universitas sedang marak, aktivis kampus putih (sebutan untuk kampus FKIP Unram) merasa sudah saatnya LPM sejenis didirikan di FKIP Unram. Dengan latar belakang jumlah mahasiswa yang notabene cukup banyak mencapai sekitar 3000 mahasiswa, juga karena tak ada wadah spesifik (selain majalah dinding yang dimiliki oleh hampir semua UKMF/HMPS di FKIP) yang menampung secara general kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para aktivis, maka di tingkat senat mulai dibicarakan upaya membidani lahirnya sebuah organisasi yang bergerak dalam hal pengabaran informasi dan penerbitan cetak yang tersebar bagi seluruh masyarakat FKIP. Zulfikar, ketua senat saat itu (1996), menunjuk Makmun, salah seorang pengurus senat untuk membicarakan hal ini dengan wakil-wakil UKM yang ada pada waktu itu.

Tercatat Muslifa Aseani, anggota MAPALA FKIP Unram yang sudah mengikuti Latihan Jurnalistik Tingkat Dasar (LJTD) tahun 1995, juga beberapa aktivis lain yang juga pernah mengikuti LJTD yang sama akhirnya berhasil membentuk suatu Lembaga Pers Mahasiswa yang disebut Pena Kampus, tepatnya tahun 1996. Namun, secara resminya, LPM Pena Kampus diakui keberadaannya di FKIP Unram sejak tahun 1998 yang ditandai dengan SK Dekan No. 3655/J18.H4.FKIP5/KM.01.02/1998. Dan pada tahun 1998 itulah LPM Pena Kampus mulai memiliki kepengurusan yang sah.

Tampuk pimpinan pertama dipegang oleh Muslifa Aseani (1998-2000). Hanya pada masa inilah Pena Kampus dipimpin oleh orang yang sama dua kali berturut-turut. Tahun-tahun berikutnya, Pemimpin Umum LPM Pena Kampus hanya boleh memimpin selama satu tahun/ satu periode kepengurusan. Setelah Muslifa, kemudian secara berturut-turut Khairul Azmi (2000-2001), Kusmayadi (2001-2002), Ahmad Sirulhaq (2002-2003), Syarifuddin Deo (2003-2004), Ihwan Buna (2004-2005), Nuraini (2005-2006), Hairul Saleh (2006-2007), M. Azkar Nawawi (2007-2008), dan Ilham Handika (2008-2009) memimpin Pena Kampus. Untuk pengurusan periode 2009-2010, bahtera Pena Kampus dinahkodai oleh Muh. Ardian Kurniawan. Ini berdasarkan keputusan Rapat Umum Pena Kampus yang diadakan pada 20-22 Maret 2009.

Seperti halnya LPM lain, Pena Kampus bertujuan untuk mewadahi informasi seputar kegiatan di lingkup kampus putih, juga informasi-informasi yang berkaitan dengan dunia kependidikan yang pada akhirnya menghidupkan geliat aktivitas warga FKIP sebagai timbal balik.

Beragam kegiatan pun telah diadakan. Kini, pada kepengurusan tahun 2009/2010, LPM Pena Kampus terus mengembangkan diri. Pena kampus berusaha tampil semaksimal mungkin melalui berbagai media seperti newsletter, majalah, mading, dan terakhir adalah blog (http://penakampus.worpress.com). Selain itu, untuk membantu tugas negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam bidang penalaran LPM Pena Kampus akan mengadakan seminar nasional dan pelatihan jurnalistik untuk pelajar, serta pengadaan Rumah Baca Pena Kampus.

Selasa, 16 Juni 2009

Selamat datang di Kampus Pena

Sebenarnya Pena Kampus sudah memiliki blog di wordpress sejak tahun 2008 lalu. Tetapi karena ingin merasakan suasana baru di blogger ini, maka kami putuskan untuk menyapa Anda lewat blog baru ini. Semoga dapat menarik perhatian Anda. Keinginan kami hanya satu, menulis untuk menyenangkan kita semua; menulis untuk kebenaran!